The Island: Prolog
Di dunia ini, gak ada yang bisa nebak masa depan. Coba liat sekitar. Pagi itu, semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Anak-anak berlarian ke sekolah. Orang dewasa mulai berangkat kerja. Setiap toko perlahan membuka pintunya. Guru-guru sudah bersiap mengajar dengan semangat. Semua terlihat normal.
Normal... sampai kamu liat anak itu.
Bocah sembilan tahun itu duduk santai di bangku taman, seakan jam pelajaran bukan urusannya. Dan memang belum—sekolahnya baru mulai jam sebelas siang, masih dua jam lagi. Waktu kosong itu ia habiskan dengan keliling kota bareng kakaknya. Saat sang kakak izin sebentar membeli minum, bocah itu merogoh ponsel dari saku celananya.
Satu panggilan ia lakukan, dan di layar hanya muncul gelap. Alisnya mengerut.
“Halo? Beomgyu?” suaranya pelan, tapi penuh rasa penasaran.
Layar perlahan menampilkan Beomgyu, yang ternyata baru saja bangun tidur. Matanya menyipit, mencoba fokus.
“Oh, Taehyun. Ada apa?” tanyanya, diiringi satu kali menguap lebar.
Taehyun langsung ngakak. “Haha, kok baru bangun? Udah jam berapa ini?”
Beomgyu cuma nyengir, menyandarkan punggungnya dan mengacak rambut. “Aku baru inget semalam ketiduran pas main game. Kayaknya digendong kakak ke kamar.”
Taehyun cuma geleng-geleng kepala, nggak habis pikir sama tingkah kawannya yang satu ini.
"Kamu sekarang lagi di mana, Hyun?"
"Di taman. Tadi abis jalan-jalan bareng kakak. Sekarang lagi istirahat."
Beomgyu cuma mengangguk. Lalu terdengar suara berderit—ia beranjak turun dari kasur. Taehyun bisa nebak, Beomgyu pasti mau ke ruang makan.
"Hyun, pulang sekolah mampir dulu, yuk, ke rumah. Orang tua aku udah berangkat lagi ke pulau seberang. Kakak juga abis nganter langsung ke kampus. Nanti sendirian doang nih di rumah!"
Taehyun nampak berpikir. Tawaran yang bagus sebenarnya, tapi hari ini orang tuanya akan pulang setelah dua bulan di luar kota.
"Nggak dulu, Gyu. Orang tua aku hari ini pulang. Aku mau nyiapin sambutan bareng kakak."
Beomgyu terlihat kecewa, tapi ide baru langsung muncul di kepalanya.
"Aku ikut deh! Boleh nggak? Nanti aku bantu bikin dekorasinya!"
Taehyun tersenyum kecil. “Boleh, dong.” Pasti seru menghias bersama.
Tidak ada yang menduganya. Kejadian itu datang terlalu cepat.
Taehyun masih menyunggingkan senyum saat tiba-tiba sekumpulan burung beterbangan dari arah pantai. Seketika suara teriakan mulai terdengar di berbagai penjuru. Orang-orang di taman berlarian, wajah mereka penuh panik.
Di rumah, Beomgyu sedang sarapan santai. Keningnya berkerut melihat Taehyun di layar yang wajahnya berubah bingung.
"Kenapa, Hyun?"
"Ini orang-orang pada lari-lari kenapa, ya?"
Belum sempat jawaban terucap, sirene darurat meraung dari setiap sudut kota. Raut wajah Taehyun langsung memucat. Tangannya gemetar. Ia memindahkan kamera, berusaha mencari kakaknya di tengah kerumunan orang yang berdesakan.
Beomgyu spontan berdiri, berlari ke jendela. Dari sana ia melihat orang-orang di luar rumahnya juga berlarian ke arah bukit. Jantungnya berdetak cepat. Ia memanggil pelayan rumah, suaranya nyaris tak terdengar.
Di taman, ponsel Taehyun bergetar. Notifikasi darurat memenuhi layar.
[Notifikasi Darurat] Gelombang tsunami setinggi 10 meter bergerak menuju kota. Segera berlindung di tempat aman!
Jantung Taehyun serasa jatuh. Kakaknya muncul dari kerumunan, wajahnya panik. Ia langsung menarik tangan Taehyun, membawanya berlari ke arah titik evakuasi.
Sementara itu, Beomgyu berteriak lewat telepon.
"Hyun! Ke rumah aku! Rumahku bisa tahan tsunami! Lokasinya lebih dekat dari titik evakuasi!"
Taehyun menoleh pada kakaknya. Mereka berdua berpindah arah, mengikuti saran Beomgyu. Napas mereka tersengal, sepatu mereka nyaris terlepas, tapi jarak ke rumah Beomgyu semakin dekat.
Gerbang rumah Beomgyu sudah terlihat ketika suara mengerikan datang dari kejauhan—gemuruh besar, seperti ribuan batu runtuh bersamaan. Beomgyu menatap dari balik jendela, wajahnya memucat.
Gelombang raksasa sudah di depan mata.
Kakak Taehyun mendorong adiknya agar berlari lebih cepat. Tapi dalam hitungan detik, dinding air itu menyapu jalanan, menelan bangunan, kendaraan, dan orang-orang di hadapannya.
Sambungan telepon terputus.
Beomgyu berteriak histeris, memanggil nama Taehyun. Pelayan rumah menahannya agar tidak berlari keluar. Dari jendela, ia hanya bisa melihat kehancuran—jalan yang tadi penuh orang, kini kosong. Air menggenang, puing-puing berserakan.
Kota itu lenyap dalam sekejap. Toko, sekolah, rumah… semua hilang tersapu ombak.
Rumah Beomgyu berdiri kokoh di tengah kehancuran. Struktur baja dan pondasi berlapisnya menahan guncangan ombak. Rumah itu memang dirancang keluarganya dengan teknologi tahan bencana—hasil dari puluhan tahun riset di bidang konstruksi.
Beomgyu jatuh terduduk, napasnya tersengal. Telinganya masih dipenuhi suara gemuruh ombak yang barusan lewat. Di luar sana, kota sudah tidak sama lagi.
Ini revisi 2 nya wkwk, gatau deh
“Kamu sekarang di mana, Hyun?”
“Di taman. Tadi habis jalan-jalan bareng kakak. Sekarang lagi istirahat.”
Beomgyu hanya mengangguk. Ia mulai turun dari kasurnya, dan Taehyun bisa menebak kalau Beomgyu pasti pergi ke ruang makan.
“Hyun, pulang sekolah mampir ke rumah, yuk. Orang tua aku udah berangkat lagi ke pulau seberang. Kakak juga habis antar lalu langsung ke kampus. Jadi nanti aku sendirian di rumah.”
Taehyun sempat berpikir. Tawaran itu sebenarnya terdengar menyenangkan, tetapi ia teringat kalau hari ini orang tuanya akan pulang setelah dua bulan berada di luar kota.
“Nggak dulu, Gyu. Orang tua aku pulang hari ini. Aku mau nyiapin sambutan buat mereka bareng kakak.”
Wajah Beomgyu terlihat kecewa, tapi tak lama senyum tipisnya kembali muncul. Ia sudah menemukan ide untuk menghapus rasa bosan nanti sepulang sekolah.
“Aku ikut deh! Boleh nggak? Nanti aku bantu bikin dekorasinya!”
Taehyun mengangguk antusias. Tentu saja boleh. Ia sudah bisa membayangkan kalau menghias bersama Beomgyu pasti akan menyenangkan.
Tidak ada yang menyangka. Kejadiannya datang secepat itu.
Taehyun masih menyunggingkan senyum ketika melihat segerombolan burung tiba-tiba beterbangan, disusul teriakan yang bergema dari segala arah. Orang-orang di sekitarnya mulai berlarian dengan wajah panik.
Beomgyu yang sedang sarapan santai di rumahnya langsung curiga melihat ekspresi Taehyun di layar ponselnya berubah bingung.
“Kenapa, Hyun?”
“Ini… orang-orang pada lari-lari kenapa, ya?”
Belum sempat mereka mencari tahu, suara sirine bahaya meraung dari setiap sudut kota. Raut wajah Taehyun langsung pucat. Tangannya bergetar saat ia menoleh ke segala arah, berusaha mencari kakaknya di antara kerumunan yang berlari.
Beomgyu ikut melihat ke luar jendela. Ia kaget ketika mendapati orang-orang di luar rumahnya juga berlari panik menuju jalur evakuasi. Ia memanggil pembantu rumahnya untuk menanyakan apa yang terjadi.
Di saat itu pula, ponsel Taehyun berbunyi. Notifikasi darurat masuk. Ia baru sempat membaca beberapa kata ketika seseorang menarik tangannya kuat-kuat. Itu kakaknya. Dengan napas terengah, sang kakak membawanya berlari.
[Notifikasi Darurat] Gelombang tsunami setinggi 10 meter sedang bergerak menuju kota. Segera berlindung di tempat yang aman!
Tangisan mulai keluar dari mulut Taehyun. Ia terlalu takut. Beomgyu yang panik di seberang sana terus memanggilnya, menawarkan agar ia pergi ke rumahnya. Rumah Beomgyu dibangun dengan pondasi superkuat—rancangan keluarganya yang memang ahli di bidang teknologi—dan letaknya lebih dekat dibanding pos evakuasi.
Beruntung, Taehyun mendengar teriakannya. Ia mengajak kakaknya berbelok menuju rumah Beomgyu. Langkah mereka makin cepat ketika gerbang rumah itu mulai terlihat. Harapan Taehyun tumbuh, tetapi takdir berkata lain.
Gelombang besar menyapu kota dalam hitungan detik. Guncangan terasa begitu hebat. Taehyun dan kakaknya terseret arus sebelum sempat masuk ke halaman. Sambungan telepon terputus.
Beomgyu terdiam menatap layar ponselnya. Sesaat kemudian, teriakannya pecah, memanggil-manggil nama sahabatnya. Pembantunya berusaha menenangkannya, tetapi pandangan Beomgyu tetap tertuju ke luar jendela. Ia menyapu pandangannya ke arah jalan yang porak-poranda, berharap dapat melihat Taehyun. Namun tak ada yang tersisa selain puing-puing.
Kota itu kini hanya menyisakan kesunyian. Sekolah, kantor, dan rumah-rumah lenyap tanpa bekas. Dalam satu sapuan ombak, semuanya hancur.
-Tbc.
Komentar
Posting Komentar